Jumat, 31 Juli 2009

SSTI Jangan Dicontoh


SSTI Jangan Dicontoh

Pernah nonton Suami - Suami Takut Isteri (SSTI)? SSTI adalah sitkom yang digarap oleh Rumah Produksi Multivision Plus dengan arahan sutradara Sofyan de Surza dan tayang di TRANS TV sejak 15 Oktober 2007. Cerita sentralnya tentang lima keluarga di suatu komplek perumahan, diperankan oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, Desi Novitasari sebagai Pretty dan satpam kompleks Ki Daus beserta dua orang isteri dan anak-anaknya. Setiap tokoh punya karakter masing-masing yang membuat cerita jadi menarik. Keempat suami tersebut diceritakan takut dan taat dengan para isteri mereka. Sedangkan para isteri digambarkan sebagai sosok yang bengis, kasar dan mau menang sendiri. Saya sempat berfikir apa memang ada manusia-manusia seperti mereka. 
Menurut saya SSTI melecehkan keberadaan lembaga rumah tangga, peran suami, isteri dan anak-anak mereka. Saya mencatat ada beberapa pesan yang menonjol di SSTI. Pertama, Aroma perselingkuhan, kehadiran Pretty janda cantik yang jadi rebutan para suami menggambarkan ketidaksetian para suami terhadap pasangan. Apalagi rebutan, berarti semuanya mengamini perselingkuhan, berarti dalam sitkom ini semua suami ga' ada yang bener toh? 
Kedua, kekerasan dalam rumah tangga, kerap ditampilkan adegan suami/isteri yang menghina, mencubit, memukul bahkan menendang pasanganya. Wah kalau terjadi dalam dunia nyata bisa kena undang-undang KDRT, karena yang ditampilkan dalam SSTI adalah perwujudan dari bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikis seperti yang dijelaskan pada pasal 5,6 dan 7 Undang-Undang KDRT. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).
Ketiga kebiasaan ghibah atau gosip. Baik para isteri maupun suami sering menghabiskan waktu kumpul di rumah atau di pos ronda untuk saling curhat membicarakan segala hal termasuk membicarakan kisah ranjang mereka, seperti pada episode 18 Maret 2009 yang lalu. Episode tersebut menceritakan tentang kelemahan para suami yang diumbar oleh para isteri. Islam melarang kebiasaan ghibah yang diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri (Q.S Al-Hujurat: 11-12) apalagi kalau yang dibicarakan masalah yang sangat pribadi, masalah ranjang. Nabi Saw bersabda :
"sesungguhnya di antara orang yang terburuk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mengetahui rahasia isterinya atau seorang isteri yang mengetahui rahasia suaminya kemudian menceritakan rahasia itu kepada orang lain." (HR. Muslim dan Ahmad)
Keempat akhlak anak kepada orang tua. Ketidakhormatan anak kepada orangtua, menghina orangtua seolah menjadi lumrah di SSTI. Lihat saja sering ditayangkan tokoh Sarlila yang menghina orangtuanya pun begitu dengan orangtuanya, mereka saling goda, saling hina. Padahal menolak perintah mereka dengan berkata "Uff" saja dilarang apatah lagi mencela dan menghina mereka.  
Dan terakhir mediskreditkan suku. Maaf… ada anggapan di masyarakat bahwa orang minang adalah orang yang pelit, ini tergambar pada tokoh deswita yang pelit. Kepelitan deswita memang menjadi daya tarik yang menjadi bumbu di sitkom ini. Tidak semua orang minang pelitkan! Masih lumayan dengan Tigor, orang batak yang kuat keras fisiknya tapi lembut hatinya. Mudahan-mudahan sitkom ini tidak ada maksud untuk mendiskreditkan suku manapun.
Meski dengan keterbatasannya SSTI akan lebih menarik bila ada kesimpulan yang membenarkan perbuatan yang benar dan menyalahkan perbuatan yang salah di akhir setiap episode supaya penonton turut tercerdaskan. Saya takutnya SSTI yang "tidak benar" dicontoh oleh masyarakat. Pasangan muda yang baru menikah misalnya. 
Acara-acara yang disajikan di televisi memang ditujukan untuk menghibur masyarakat. Tapi selain itu bukan kah media punya tanggung jawab terhadap prilaku moral masyarakat, karena menurut teori komunikasi massa, media punya peranan besar dalam pembentukan opini, citra bahkan sikap seseorang. Terakhir, bangsa kita ini cepat mencontoh, jadi kepada para awak media tolonglah beri tontonan yang bisa memberikan contoh dan citra yang baik untuk bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar