Jumat, 13 November 2009

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Pada Pendidikan Anak

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Pada Pendidikan Anak
Oleh: Elly Agustina

A. Pendahuluan

 Kehadiran manusia di dunia melalui rangkaian proses kehidupan, ia tidak serta merta hadir ke dunia dengan kematangannya, proses kehidupan yang dijalanilah yang membentuk kematangannya secara pribadi. 
Allah SWT menciptakan manusia dengan tahapan yang lengkap dari tak berwujud hingga dapat dijumpai wujudnya. Menariknya adalah ketika timbul pertanyaan seperti yang diperdebatkan antara aliran Nativisme dan aliran Positivisme.
Aliran Nativisme yang dipelopori oleh Lombrosso dan Schopenhauer di abad 19 merasa pesismis terhadap pendidikan, mereka menganggap peluang pendidik memperoleh hasil pendidikan sangat sedikit, karena anak ditentukan oleh hukum-hukum pewarisan. Sehingga pengaruh orangtua dan keturunannya terhadap perilaku anak sangat dominan hingga sulit diubah oleh pendidikan.
Lain halnya dengan aliran Optimisme yang ditokohi oleh John Locke, menurut aliran ini segala bentuk tingkah laku manusia adalah produk pendidikan yang dijalaninya. Mereka justru menafikkan faktor bawaan yang ada pada manusia sejak ia lahir. John Locke mengibaratkan anak yang baru lahir seperti kertas putih yang belum ditulisi yang akan diisi sekehendak penulisnya. 
Di tengah perdebatan keduanya, aliran konvergensi bertindak bijak dengan menjembatani perseteruan dua aliran ini dengan teori barunya, menurut aliran konvergensi yang diusung oleh William Stern ini, faktor pembawaan dan lingkungan sama pentingnya dan keduannya sama-sama memiliki pengaruh. Perpaduan antara keduanyalah yang akan membentuk prilaku anak.
Ke tiga aliran tersebut punya teori masing-masing lalu bagaimana dengan Islam. Islam punya konsep sendiri mengenai hakikat anak, dalam hal ini Islam menawarkan konsep fitrah yang lebih dekat dengan aliran konvergensi sebagai bukti kesempurnaanya untuk menjawab semua perdebatan tersebut.  

B. Pembahasan 

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

(QS. Ar-Ruum: 30)

 Fuad Muhammad Abdul Baqi dalam al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al Qur'an al Karim sebagaimana yang dikutip oleh Mujahid, menyebutkan istilah "fitrah" secara tegas hanya disebutkan satu kali dalam al-Qur'an. Berasal dari kata fatara, yafturu, fatran. Namun bila di runut dari asal-usul kata dan bentuk musytaq-¬nya al-Qur'an menyebutnya sebanyak 19 kali. 
 Secara bahasa fitrah berarti watak atau karakter, Louis Ma'luf mengartikannya sebagai ciptaan, suatu sifat tertentu yang setiap yang ada disifati olehnya sejak awal penciptaan atau bisa diartikan sebagai sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan sunnah.  
 Al-Raghib al-Asfahani ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa sebagaimana yang dikutip Muhaimin, mengungkapkan kalimat fathara Allah al-khalq, yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan, kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan.  
Hamka dalam tafsir al-Azhar menafsirkan fitrah sebagai rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok. 
Lain halnya dengan Muhaimin, ia mendefenisikan fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada-Nya, cenderung kepada kebenaran (hanif), dan potensi itu merupakan ciptaan Allah.  
Ketika Allah meniupkan ruh kepada manusia pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri, maka pada saat itu pula manusia memiliki sebagian dari sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Asma' al-Husna. Misalnya sifat al-'Aliim (Maha Mengetahui): manusia juga diberi kemampuan untuk mengetahui sesuatu, al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahim (Maha Penyayang): begitu pula manusia yang juga bisa mngasihi dan menyayangi, al-'Afuw al-Ghafur (Maha Pemaaf dan Maha Pengampun): demikian halnya manusia yang juga diberi kemampuan untuk memafkan dan mengampuni kesalahan orang lain, al-Khaliq (Maha Pencipta): manusia pun memiliki kemampuan untuk berkreasi dan berinovasi, al-Lathif al Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang tampak maupun yang tersembunyi): hal ini terkait dengan kemampuan manusia untuk bersikap lemah lembut dan cenderung kepada kelembutan serta mampu mengetahu dan merahasikan yang ia ketahui. al-Qadir (Maha Kuasa): manusia juga diberi kemampuan untuk berkuasa, al-'Adil (Maha Adil): manusia pun bisa berlaku adil, al-Murid (Maha Berkehendak): manusia mempunyai motivasi untuk berbuat, al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk): sifat ini menunjukkan kemampuan manusia untuk menayomi, menasehati, mendidik dan seterusnya. Sebagian sifat-sifat ketuhanan yang dimiliki manusia inilah yang disebut fitrah menurut Hasan Langgulung.  
Fitrah dapat beraneka bentuk bila dilihat dari nilai-nilai illahiyah yang terkandung di dalamnya, yakni:
1. Fitrah beragama: potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
2. Fitrah berakal budi: potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berpikir dan berdzikir memaknai keagungan Allah terhadap alam semesta.
3. Fitrah kebersihan dan kesucian: potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berkomitmen terhadap kebersihan diri dan lingkungannya.
4. Fitrah bermoral/berakhlak: potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berkomitmen terhadap norma, nilai atau aturan yang berlaku.  
5. Fitrah kebenaran: potensi yang mendorong manusia untuk mencari dan mencapai kebenaran.
6. Fitrah kemerdekaan: potensi yang mendorong manusia untuk bersikap bebas/merdeka tidak terbelenggu atau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali keinginanya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan.
7. Fitrah keadilan: fitrah ini mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan dimuka bumi.
8. Fitrah persamaan dan persatuan: mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak, menentang diskriminasi dan berusaha menjalin persatuan dan kesatuan di muka bumi.
9. Fitrah individu: fitrah ini mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab, mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta menjaga keselamatan diri dan hartanya.
10. Fitrah sosial: mendorong manusia untuk hidup bersama.
11. Fitrah seksual: mendorong seseorang untuk berkembang biak, mengembangkan keturunan dan mewariskan tugas kepada generasi penerusnya.
12. Fitrah ekonomi: mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi.
13. Fitrah politik: mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi guna melindungi kepentingan bersama.
14. Fitrah seni: mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam hidupnya. 
Namun fitrah manusia tersebut bisa berubah atau tersesat karena manusia juga memiliki kecintaan terhadap nafsu. Nafsulah yang akan menyesatkan manusia dari hal-hal yang memuaskan fitrahnya. 
Pertanyaanya untuk apa manusia dibekali potensi-potensi tersebut, tentunya untuk melaksanakan tugas manusia sebagai khalifah fi al-Ard. Pada haikikatnya seluruh tugas manusia berujung pada tanggung jawabnya untuk beribadah dan mengesakan Allah SWT.  
Untuk mengetahui potret potensi yang dimiliki manusia, Abuddin Nata menggunakan dua kata kunci yang diambil dari al-Qur'an, yakni kata insan dan basyar. Meskipun keduanya sama-sama memiliki pengertian manusia, kata insan mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi intelektual dan kejiwaan yang selanjutnya akan menjadi alat utama untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Sedangkan kata basyar menunjukkan manusia dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan aktivitas lahiriah yang dipengaruhi dorongan kodrat alamiahnya.  
 Abdul Fatah Jalal dalam bukunya Min al-Ushul al-Tarbawiyah al Islamiyah menyebutkan 5 macam alat potensial yang dianugerahi Allah SWT untuk digunakan manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, yakni sebagai berikut:
1. Al-Lam dan al-Syams (alat peraba dan pencium/pembau)
2. Al-Sam'u (alat pendengaran)
3. Al-Absar (Penglihatan)
4. Al-Aql (akal atau daya pikir)
5. Al-Qalb (kalbu) 

Terkait dengan keberadaan alat potensial tersebut Allah SWT telah memberikan manusia berbagai sarana untuk belajar. Firman Allah dalam surat an-Nahl: 78
         
"..., dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur."

Al-Maududi menjelaskan bahwa pendengaran merupakan pemeliharaan pengetahuan yang diperoleh dari orang lain. Penglihatan merupakan hasil pengembangan pengetahuan dengan observasi dan penelitian yang berkaitan dengannya. Sedangkan hati merupakan sarana membersihkan ilmu pengetahuan dari kotoran dan noda sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang murni.  
Fitrah akan bersifat statis bila tidak ada upaya manusia untuk mengembangkannya. Namun ia bisa menjadi dinamis bila manusia berusaha mengembangkan potensinya.
Seperti yang diperdebatkan aliran positivisme dan nativisme, apakah pendidikan terhadap anak akan berhasil atau tidak. Berhasil atau tidaknya tentu tergantung pada upaya individu itu sendiri memaksimalkan potensi yang dimilikinya dalam memperoleh pendidikanya. Caranya dengan proses pendidikan. Potensi manusia akan berkembang melalui proses pendidikan yang dilewatinya.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmani, ia dapat melakukan tugas yang memerlukan dukungan fisik dan sebaliknya dengan kelengkapan rohaninya ia bisa melakukan tugas yang memerlukan dukungan moral. Sesungguhnya kedua unsur tersebut akan dapat produktif dan berfungsi dengan baik bila dibina dan dibimbing, dalam hal inilah pendidikan memegang peranan yang sangat penting. 
Selain pendidikan pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio kultural, sejarah dan faktor-faktor temporal.  
Sebagai umat Islam dan makhluk yang mampu berpikir logis, pendidikan Islam adalah solusi bagi upaya pengoptimalan potensi manusia. Para pakar pendidikan Islam telah merumuskan tujuan pendidikan diantaranya An-Nahlawi, ia merumuskan empat tujuan umum pendidikan, yakni:
1. Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah SWT menyuruh manusia merenungkan kejadian di langit dan bumi agar manusia beriman kepada-Nya.
2. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah sebab ajarannya tidak asing dari tabiat asal manusia.
3. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya.
4. Berusaha menyeimbangkan segala potensi dan bakat manusia.  
Pengembangan fitrah dengan menggunakan sarana pendidikan Islam akan berimplikasi pada pengejawantahan nilai-nilai keisalaman terhadap semua komponen pendidikan yang akan mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan seperti tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan, millieu/lingkungan, materi, metode, dan evaluasi pendidikan. Semua komponen tersebut harus diarahkan pada upaya menjaga, memelihara dan mengembangkan fitrah anak.
Upaya untuk mengembangkan fitrah menjadi wewenang manusia itu sendiri, manusia diberikan kebebasan seluas-luasnya dengan tidak melanggar aturan Islam. Namun bagi anak yang masih belum bisa menentukan sendiri pilihan yang benar dan baik untuk dirinya, sangat dibutuhkan kehadiran lingkungan yang sehat untuk membimbing dan mendukungnya. 
كُلُ مَوْلُدٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ وَإِنَّمَا أَبَوَاهُ يُهَوّْدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi 
(H.R. Muslim).
Orangtua, keluarga dan masyarakat adalah lingkungan yang dimaksud dalam hal ini. Hadits tersebut mengambarkan bagaimana orangtua sangat mempengaruhi perkembangan fitrah anak. 
Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali, menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan orang yang mendidiknya, hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apa pun. 
Meskipun setiap anak sejak lahir membawa fitrah, baik berupa illahiyah, jasadiyah, maupun aql-nya, namun bila orangtua salah mengarahkannya maka fitrah tersebut pun akan bergeser dari hakikatnya semula. Oleh karena itu, peran lingkungan terutama orangtua sangat dibutuhkan dalam upaya mengembangkan fitrah anak.
Bagi seorang pendidik, kemampuan untuk mengenal potensi anak sangat diperlukan karena akan memudahkannya untuk memahami dan mengarahkan peserta didik dengan keunikannya masing-masing. Selain itu pendidik juga dituntut untuk mencermati perkembangan fisik, psikis anak dan mengetahui karakter anak didiknya serta kondisi lingkungan sosial yang membentuknya, demi tercapainya tujuan pendidikan.  
Demikian uniknya alat-alat potensial dan kemampuan yang dimiliki manusia merupakan nikmat dari Allah SWT yang harus disyukuri. Menurut Muhammad Abduh bahwa yang dinamakan syukur itu, menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan fungsinya dan sesuai kehendak yang menganugerahkanya yaitu Allah SWT. 
D. Penutup
 Pada hakikatnya manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi fitrah. Fitrah manusia tidak hanya bersifat statis ia dapat berkembang karena banyak hal, salah satunya melalui pendidikan, tentunya dengan pendidikan yang berlandaskan pada Islam. Upaya pengembangan fitrah manusia melalui pendidikan, terutama bagi anak-anak yang masih dalam proses pengenalan diri amat penting dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu komponen-komponen pendidikan pun harus diarahakan pada upaya pengembangan potensi anak.


Alhamdulillah..alhamdulillah aku punya mata,
Mataku indah mataku bersih, Oh alhamdulillah...
Dapat kulihat dapat kupandang pemandangan indah
Aku bersyukur, alhamdulillah...
Terima kasih Allah


DAFTAR PUSTAKA

An-Nahlawi, Abdurahman. Pendidikan Islam Di Rumah Sekolah dan Masyarakat. Alih Bahasa Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Attabik Ali, al-Asri Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996  

Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995.
Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A'alm. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

Muhaimin dkk. Paradigma pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Mujahid, " Konsep Fitrah dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam" Jurnal pendidikan Islam  
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1997.
Nizar, Syamsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Othman, Issa Ali. Manusia Menurut al-Ghazali. Bandung: Pustaka, 1987.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar